Kutacane — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dana desa oleh Camat Leuser, Kabupaten Aceh Tenggara, menyeruak dan memicu gelombang desakan publik. Barisan Sepuluh Pemuda, yang dipimpin Dahriansyah, mendesak Inspektorat untuk segera turun tangan dan mengungkap aktor serta skema yang diduga telah berlangsung lama dan sistematis.
“Kami tidak ingin kasus ini ditutupi. Inspektorat harus tegas, bukan jadi pelindung para pelaku,” ujar Dahriansyah kepada wartawan, Kamis, 17 Juli 2025.
Dugaan pungli ini mencuat setelah beredar informasi yang menyebut Camat Leuser kerap memotong dana desa dari sejumlah kampung di wilayahnya. Rekaman suara, dokumen tidak resmi, dan pernyataan para kepala desa sempat beredar di publik. Isinya mengindikasikan adanya praktik ilegal yang menyeret nama sang camat.
Namun, alih-alih proses hukum berjalan, publik justru dibuat bingung. Salah satu penjabat kepala desa, Hendri dari Kute Kompas, tiba-tiba menarik pernyataannya melalui surat klarifikasi bermeterai. Dalam surat itu, ia menyampaikan permintaan maaf kepada Bupati Aceh Tenggara dan menyebut rekaman yang beredar “tidak benar dan menyesatkan”.
Surat klarifikasi itu menjadi titik balik yang mencurigakan. Barisan Sepuluh Pemuda menduga ada tekanan atau intervensi terhadap para kepala desa yang sebelumnya berani bersuara.
“Apa yang membuat Pj Kepala Desa tiba-tiba berubah haluan setelah rekaman itu viral? Ini patut diselidiki lebih dalam. Jangan-jangan ada upaya membungkam,” kata Dahriansyah.
Langkah cepat Bupati Aceh Tenggara yang langsung menonaktifkan Camat Leuser disambut positif. Namun, pemuda menilai kebijakan itu belum cukup. Penonaktifan hanyalah permukaan. Yang dituntut saat ini adalah investigasi tuntas dan pemanggilan pihak-pihak yang diduga terlibat.
“Penonaktifan camat hanyalah langkah darurat. Yang kami tuntut adalah pembuktian hukum. Kalau terbukti, camat dan jaringannya harus dicopot dan diadili,” kata Dahriansyah.
Kasus ini menjadi catatan serius atas lemahnya pengawasan terhadap penggunaan dana desa. Di tengah masifnya aliran dana ke kampung-kampung, kontrol vertikal dari kecamatan sering kali justru menjadi ladang baru bagi praktik-praktik ilegal berkedok koordinasi dan pembinaan.
Para pemuda menegaskan, jika Inspektorat dan aparat penegak hukum tidak menindaklanjuti kasus ini secara terbuka dan transparan, maka mereka siap turun ke jalan dan melaporkan secara resmi ke kejaksaan.
“Kami akan mengawal kasus ini sampai tuntas. Rakyat bosan dengan permainan elite yang kebal hukum,” tegas Dahriansyah.
Laporan : Salihan Beruh























