Subulussalam – Proyek pembangunan drainase lingkungan yang bersumber dari Dana Desa tahun anggaran 2025 di Kampong Danau Tras, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam, menjadi sorotan publik. Warga mempertanyakan transparansi dan keabsahan proyek tersebut, yang disebut-sebut telah dibangun sebelumnya semasa kepemimpinan Geuchik almarhum Mustar Angkat.
Papan nama kegiatan menyebutkan proyek ini berupa normalisasi drainase sepanjang 50 meter, dengan ukuran 0,7 meter x 0,9 meter, menggunakan Dana Desa senilai Rp16.500.000. Namun kejanggalan muncul karena papan tersebut justru mencantumkan lokasi kegiatan di “Desa Solok”, padahal berada di Kampong Danau Tras. Hal ini memicu dugaan kuat adanya ketidaksesuaian administrasi dan potensi penyimpangan informasi proyek.
Warga menyebut drainase tersebut sudah pernah dibangun dan merasa tidak pernah diajak bermusyawarah atau diberikan sosialisasi ulang terkait perencanaan proyek. Mereka menganggap proyek ini hanya tambal sulam dari pekerjaan sebelumnya, tanpa transparansi teknis dan partisipasi masyarakat. Kondisi inilah yang mendorong munculnya tudingan adanya proyek tumpang tindih atau duplikasi kegiatan.
Kepala Desa Danau Tras, Pak Banjir, saat dikonfirmasi pada Minggu, 7 Juli 2025, mengklarifikasi bahwa proyek tersebut bukan pembangunan baru, melainkan rehab atau perbaikan karena kondisi drainase lama sudah rusak total. Menurutnya, tindakan tersebut perlu segera dilakukan agar fungsi saluran air dapat kembali normal, khususnya menjelang musim hujan.
Namun klarifikasi itu tidak serta merta meredam kecurigaan masyarakat. Sebab, proyek yang direhabilitasi tidak dijelaskan secara terbuka sejak awal, dan tidak ada bukti teknis yang disampaikan kepada publik bahwa drainase lama memang dalam kondisi rusak parah hingga layak direhabilitasi dengan dana sebesar itu.
Berdasarkan analisa awal dari dokumentasi visual di lapangan, tampak bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembangunan infrastruktur dasar—kemungkinan besar saluran drainase atau parit. Lokasi berada di lingkungan pedesaan dengan tanah merah dan vegetasi lebat di sekitarnya. Beberapa pekerja terlihat sedang beraktivitas dengan bahan material seperti semen, kayu bekisting, dan kerikil. Namun, kondisi fisik proyek belum rampung. Struktur terlihat masih kasar dan belum selesai dicor.
Yang paling mencolok, tidak tampak papan informasi proyek yang biasanya wajib ditampilkan di lokasi kegiatan. Ini bertentangan dengan ketentuan transparansi publik sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT No. 13 Tahun 2020 dan Perpres No. 104 Tahun 2021, yang mewajibkan pemasangan papan proyek untuk menginformasikan sumber dana, volume pekerjaan, dan pelaksana kegiatan kepada publik.
Tak hanya itu, minimnya perlengkapan keselamatan kerja juga menjadi sorotan. Beberapa pekerja terlihat tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti helm dan sepatu keselamatan, yang menunjukkan lemahnya aspek keselamatan kerja dan pengawasan teknis di lapangan.
Secara umum, berdasarkan pengamatan visual, kualitas pekerjaan belum bisa dinilai karena masih berlangsung. Namun, kelemahan pada aspek administratif dan teknis seperti ketidakterbukaan informasi proyek dan lemahnya pengawasan sudah cukup untuk memicu perhatian masyarakat.
Permasalahan ini dinilai bertentangan dengan sejumlah regulasi. Berdasarkan Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2023, kegiatan Dana Desa harus berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, tidak boleh tumpang tindih, serta wajib melalui proses musyawarah desa secara terbuka. Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 juga mengamanatkan bahwa setiap anggaran desa harus digunakan secara transparan dan akuntabel sesuai perencanaan.
Jika proyek drainase tersebut merupakan pengulangan pekerjaan tanpa dasar teknis dan tanpa melalui mekanisme perencanaan yang benar, maka hal itu dapat melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengharuskan kepala desa mengelola keuangan secara jujur dan bertanggung jawab.
Lebih jauh lagi, apabila ditemukan adanya unsur pemalsuan dokumen, manipulasi volume pekerjaan, atau pengalihan lokasi yang disengaja, maka hal tersebut bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam Pasal 3 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa setiap penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dapat dipidana penjara.
Atas dasar itulah, masyarakat mendesak agar Inspektorat Kota Subulussalam, Unit Tipikor Polres Subulussalam, dan Kejaksaan Negeri Subulussalam segera melakukan audit menyeluruh dan penyelidikan lapangan atas proyek ini. Mereka berharap tidak ada toleransi terhadap penyalahgunaan anggaran negara, sekecil apa pun.
“Kami hanya ingin kejelasan dan memastikan bahwa uang negara benar-benar digunakan untuk pembangunan yang bermanfaat, bukan sekadar formalitas proyek,” pungkas salah satu tokoh masyarakat di Danau Tras.
Redaksi: Syahbudin Padank – Tim Fast Respon Counter Polri Nusantara























